Jumat, 31 Agustus 2012

10 Peradaban Kota Yang Hilang


1. Machu Picchu (Peru) : the lost city of Incas
Machu Picchu (Gunung Tua) adalah sebuah lokasi reruntuhan Inca pra-Columbus yang terletak di wilayah pegunungan pada ketinggian sekitar 2.350 m. Machu Picchu berada di atas lembah Urubamba di Peru, sekitar 70 km barat laut Cusco.


Machu Picchu (Peru) : the lost city of Incas

Situs ini sempat terlupakan oleh dunia internasional, tetapi tidak oleh masyarakat lokal. Situs ini kembali ditemukan oleh arkeolog dari universitas Yale Hiram Bingham III yang menemukannya pada 1911.


Angkor Wat (Kamboja) : the world’s largest religious temple

2. Angkor Wat (Kamboja) : the world’s largest religious temple
Angkor adalah sebuah rangkaian lokasi ibu kota Kerajaan Khmer dalam periode lama dari abad ke-9 sampai abad ke-15 Masehi. Puingnya terletak di hutan dan tanah perladangan di utara Danau Besar Tonle Sap, dekat Siem Reap, Kamboja sekarang ini, dan merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO. Kuil-kuil di Angkor Wat, sekarang sebagian besar telah dipugar, merupakan bagian dari contoh arsitektur Khmer.


Mesir Kuno

3. Mesir Kuno adalah suatu peradaban kuno di bagian timur laut Afrika. Peradaban ini terpusat sepanjang pertengahan hingga hilir Sungai Nil yang mencapai kejayaannya pada sekitar abad ke-2 SM, pada masa yang disebut sebagai periode Kerajaan Baru. Daerahnya mencakup wilayah Delta Nil di utara, hingga Jebel Barkal di Katarak Keempat Nil. Pada beberapa zaman tertentu, peradaban Mesir meluas hingga bagian selatan Levant, Gurun Timur, pesisir pantai Laut Merah, Semenajung Sinai, serta Gurun Barat (terpusat pada beberapa oasis).
Peradaban Mesir Kuno berkembang selama kurang lebih tiga setengah abad. Dimulai dengan unifikasi awal kelompok-kelompok yang ada di Lembah Nil sekitar 3150 SM, peradaban ini secara tradisional dianggap berakhir pada sekitar 31 SM, sewaktu Kekaisaran Romawi awal menaklukkan dan menyerap wilayah Mesir Ptolemi sebagai bagian provinsi Romawi. Walaupun hal ini bukanlah pendudukan asing pertama terhadap Mesir, periode kekuasaan Romawi menimbulkan suatu perubahan politik dan agama secara bertahap di Lembah Nil, yang secara efektif menandai berakhirnya perkembangan peradaban independen Mesir.



Petra (Yordania) : stones structure carved into rocks

4. Petra (Yordania) : stones structure carved into rocks
Petra adalah kota yang didirikan dengan memahat dinding-dinding batu di Yordania. Petra berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘batu’. Petra merupakan simbol teknik dan perlindungan.
Kata ini merujuk pada bangunan kotanya yang terbuat dari batu-batu di Wadi Araba, sebuah lembah bercadas di Yordania. Kota ini didirikan dengan menggali dan mengukir cadas setinggi 40 meter.
Petra merupakan ibukota kerajaan Nabatean. Didirikan pada 9 SM-40 M oleh Raja Aretas IV sebagai kota yang sulit untuk ditembus musuh dan aman dari bencana alam seperti badai pasir


Palmyra (Syria) : the bride of desert

5. Palmyra (Syria) : the bride of desert
Palmyra dulunya adalah kota penting di Syria, terletak di daerah oasis 215 km timur laut Damascus. Dahulu dikenal dgn nama Tadmor (bhs Arab). Kota ini dulu terletak dekat sumber mata air panas, Afga, dan merupakan tempat singgah ideal bagi para kelompok pengelana dari Iraq – Al-Sham (skrng Syria, Lebanon, Holy Land, Jordan). Lokasinya yg strategis membuat Palmyra menjadi kerajaan terkenal dan makmur pada jamannya abad 2 SM.



Pompeii (Italy) : buried by volcanoPompeii

6. Pompeii (Italy) : buried by volcanoPompeii adalah sebuah kota zaman Romawi kuno yang telah menjadi puing dekat kota Napoli dan sekarang berada di wilayah Campania, Italia. Pompeii hancur oleh letusan gunung Vesuvius pada 79 M. Debu letusan gunung Vesuvius menimbun kota Pompeii dengan segala isinya sedalam beberapa kaki menyebabkan kota ini hilang selama 1.600 tahun sebelum ditemukan kembali dengan tidak sengaja. Semenjak itu penggalian kembali kota ini memberikan pemandangan yang luar biasa terinci mengenai kehidupan sebuah kota di puncak kejayaan Kekaisaran Romawi. Saat ini kota Pompeii merupakan salah satu dari Situs Warisan Dunia UNESCO.



Palenque (Mexico) : one of Mayan’s most exquisite cities

7. Palenque (Mexico) : one of Mayan’s most exquisite cities
Palenque adalah kota peninggalan bersejarah suku Maya yg berlokasi di kaki gunung Tumbala, Chiapas, Mexico. Kota bersejarah ini tidak terlalu besar tetapi di dalamnya memiliki bangunan2 dengan arsitektur indah, patung2, ukir2an yg dibuat oleh suku Maya.


Vijayanagar (India)

8. Vijayanagar (India) : capital of one of the largest Hindu templeKerajaan Vijayanagar adalah sebuah kerajaan India, sejak 1336 dan terletak di Deccan, India Selatan. Kerajaan Vijayanagar ditemukan oleh Harihara (Hakka) dan saudaranya Bukka Raya. Kerajaan ini diberi nama sesuai dengan nama ibukotanya, kini namanya berubah menjadi Hampi di Karnataka, India. Kerajaan ini berdiri mulai thn 1336 dan berakhir pd thn 1660.


Ephesus (Turkey) : one of the most important cities of early Christianity

9. Ephesus (Turkey) : one of the most important cities of early Christianity
Ephesus (Efes bhs Turkey), kota yg membentang sepanjang 3 km di bagian selatan kota Selcuk, provinsi Izmir, Turkey. Kota ini dulunya merupakan pusat perdagangan dan pusat agama Kristen sampai sekarang. Reruntuhan Ephesus merupakan salah satu obyek wisata favorit di Turkey.


Sanchi (India) : the best preserved group of Buddhist monuments

10. Sanchi (India) : the best preserved group of Buddhist monuments
Sanchi merupakan komplek monument yg menandakan jaman keemasan Budha di masa Kerajaan Ashoka. Kalau jaman sekarang Sanchi sama dengan stupa, kuil, atau tempat kediaman para biksu. Monumen Sanchi berawal dr abad 3 SM sampai abad 12. Yang paling terkenal dr Sanchi adalah Stupa 1, yg dibangun oleh Raja Mauryan. Monumen ini berisi ukir2an yg bercerita ttg sejarah agama Budha.

Jumat, 17 Agustus 2012

Asal Usul Nama Indonesia

indonesia 

PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

http://fc06.deviantart.net/fs13/f/2007/061/1/1/Republik_Indonesia_by_pistonbroke.jpg
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.

http://www.indonesiamedia.com/wp-content/uploads/2010/05/garuda-indonesia1.jpg
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnUCAkR39XPf0_OwQR0k-_TCuB_9owzxfVgb0ZMqH-UIquluY8h3ShyphenhyphenAaWryyFA7d56aOb3kauyrK42syBbbwic3JloZ1cvpADqMBs7BEzjOML-rn0fG2352xH0dCpNtDic5Nd48dt60R2/s1600/peta_indonesia.jpg


Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865).

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.


Makna Politis

Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan!
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.
Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.


Sumber: Pikiran Rakyat, 16 Agustus 2004

Candi Sukuh (2)


Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang terletak di Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas. 



Sejarah singkat penemuan

Situs candi Sukuh ditemukan kembali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Kemudian setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, yang berwarganegara Belanda melakukan penelitian. Lalu pada tahun 1928, pemugaran dimulai.


Lokasi candi

Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di dukuh Berjo, desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta. Kurang lebih 4 kilometer mendaki gunung Lawu lagi, terdapat situs Candi Cetho.


Struktur bangunan candi
Denah candi Sukuh.



Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang menyolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bahkan bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir. Di bawah akan dibahas lebih lanjut mengenai bentuk ini.

Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda W.F. Stutterheim pada tahun 1930. Beliau lalu mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen: pertama, kemungkinan pemahat candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton, kedua candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi atau ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhannya Majapahit karena didesak oleh pasukan Islam Demak tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.

Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar akan melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya.
Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit.
Teras pertama candi

Gapura utama candi Sukuh.
Teras Pertama

Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.




Teras kedua candi

Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama!


Teras ketiga candi

Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.
Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan untuk bersembahyang.
Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung Sudamala.


Urutan reliefnya adalah sebagai berikut:

Relief pertama
Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima. Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.



Relief kedua
Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka dan Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar. Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor burung hantu. Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.


Relief ketiga
Pada bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari kebutaannya.



Relief keempat
Adegan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama dengan Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya.



Relief kelima
Lukisan ini merupakan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua raksasa Kalantaka dan Kalañjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pañcanakanya.


Patung-patung sang Garuda
Prasasti sukuh.


Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti.
Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta.

Lihat kisah Pemutaran Laut Mencari Amerta


Beberapa bangunan dan patung lainnya

Selain candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda serta relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria dan kaum bangsawan berwahana gajah.
Lalu ada pula bangunan berelief tapal kuda dengan dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kira dan kanan yang berhadapan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa relief ini melambangkan rahim seorang wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Namun hal ini belum begitu jelas.
Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut candi pewara. Di bagian tengahnya, bangunan ini berlubang dan terdapat patung kecil tanpa kepala. Patung ini oleh beberapa kalangan masih dikeramatkan sebab seringkali diberi sesajian.

Candi Sukuh


http://212notes.files.wordpress.com/2010/03/candi-sukuh2.jpg

Pengantar

Bangsa Indonesia dikenal memiliki kebudayaan dan peninggalan seni budaya yang beragam. Mulai dari seni bangunan, kriya, bahasa, norma kehidupan sosial, adat istiadat dan berbagai seni budaya yang tak terhitung jumlahnya. Kebudayaan dan peninggalan seni budaya tersebut mempunyai nilai yang tinggi dan beberapa diantaranya diakui oleh dunia sebagai warisan budaya asli “heritage of” Indonesia. Seni budaya yang masih banyak dijumpai di Indoensia antara lain bangunan candi, keris, wayang, seni pertunjukan tari tradisional, gamelan, kethoprak kemudian batik, topeng, adat kebiasaan seperti upacara-upacara ritual, dan lainnya.
Candi merupakan peninggalan budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai sejarah yang sangat berharga. Peninggalan candi banyak tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah terbanyak berada di pulau Jawa. Candi Borobudur dan candi Prambanan adalah beberapa candi yang sangat dikenal bahkan sampai ke mancanegara. Tidak hanya candi Borobudur, candi Prambanan dan beberapa candi besar lainnya, namun kita juga memiliki banyak candi yang berukuran lebih kecil dan memiliki ciri khas yang berbeda. Candi Muara Takus di Riau, Biaro Bahal di Sumatera Utara, atau candi Agung di Kalimantan Timur, menunjukkan candi bukan milik Pulau Jawa saja.

http://stat.ks.kidsklik.com/files/2010/01/sukuh3.jpg


Istilah candi digunakan untuk menyebutkan sebuah bangunan yang berasal dari masa klasik sejarah Indonesia, yaitu dari kurun waktu abad ke-5 M hingga ke-16 M. Candi dapat berupa bangunan kuil yang berdiri sendiri atau berkelompok. Dapat pula berupa bangunan berbentuk gapura beratap (Paduraksa) dan tidak beratap (Candi Bentar). Petirtaan yang dilengkapi kolam dan arca pancuran juga kerap disebut candi.
Candi yang berada di daerah lain seperti Sumatera Utara dikenal istilah ”biaro” dan di Jawa Timur istilah ”cungkub”. Namun masyarakat lebih mengenal istilah candi, apa pun jenis bangunan kuno (termasuk reruntuhan) serta di mana pun letak candi berada. Kata ”candi” berasal dari salah satu nama yang diberikan kepada Dewi Durga, yakni permaisuri Dewa Siwa. Dewi Durga disimbolkan sebagai Dewi Maut  yang disebut dengan “candika”.  Istilah candi kemudian digunakan untuk menyebutkan bangunan peninggalan pada jaman Indonesia purba.
Candi merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan kuno yang pernah ada di Indonesia, seperti Mataram Hindu, Singasari, Majapahit, dan Sriwijaya. Candi Borobudur dan Candi Prambanan (Loro Jonggrang) adalah bukti-bukti kejayaan Kerajaan Mataram dari abad ke-8 hingga ke-11. Candi Singasari, Kidal, dan Jago merupakan sisa-sisa kebesaran Kerajaan Singasari, dari abad ke-11 hingga ke-13. Candi Tikus, Bajangratu, Brahu, dan Wringin Lawang adalah peninggalan Kerajaan Majapahit dari abad ke-13 hingga ke-15. Candi-candi di sekitar Muara Jambi diduga merupakan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 hingga ke-11.

Candi-candi di Indonesia umumnya bercirikan agama Budha (terutama aliran Mahayana dan Tantrayana) dan agama Hindu (terutama aliran Siwaisme). Candi bersifat Budha dikenal lewat arca Budha dan bentuk stupa, misalnya Borobudur dan Mendut. Sementara itu, Candi bersifat Hindu mempunyai arca-arca dewa-dewi di dalamnya, misalnya Prambanan dan Dieng. Uniknya, beberapa candi bersifat campuran Siwa-Budha, antara lain Singasari dan Jawi di Jawa Timur.

Candi di Indonesia dapat dibedakan berdasarkan langgam seninya menjadi tiga bagian. Pertama, langgam Jawa Tengah Utara. Contohnya Candi Gunungwukir, Badut, Dieng, dan Gedongsongo. Kedua, Langgam Jawa Tengah Selatan misalnya Candi Kalasan, Sari, Borobudur, Mendut, Sewu, Plaosan, dan Prambanan. Ketiga, langgam Jawa Timur, termasuk candi-candi di Bali, Sumatera dan Kalimantan. Contohnya Candi Kidal, Jago, Singasari, Jawi, Panataran, Jabung, Muara Takus dan Gunung Tua. Ditilik dari corak dan bentuknya, pada dasarnya candi di Jawa Tengah Utara tidak berbeda dari candi-candi Jawa Tengah Selatan. Hanya candi-candi di Jawa Tengah Selatan lebih mewah dan lebih megah dalam bentuk dan hiasan dibandingkan candi-candi Jawa Tengah Utara. Perbedaan yang nyata terdapat pada candi-candi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Umumnya candi langgam Jawa Tengah berbentuk tambun, atapnya berundak-undak, reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis, mengha-dap ke Timur, letak candi di halaman utama, gawang pintu dan relung berhiaskan kala makara serta berbahan batu andesit. Sementara itu, candi langgam Jawa Timur berbentuk ramping, atapnya merupakan perpaduan tingkatan, puncaknya berbentuk kubus, makara tidak ada hanya hiasan atasnya diberi kepala kara, reliefnya timbul sedikit, lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit, letak candi di halaman belakang, menghadap ke barat dan berbahan batu bata. Sejumlah arkeolog menamakan gaya seni candi berdasarkan aspek zaman dan periode, yaitu gaya Mataram Kuno (abad VIII-X), gaya Singasari (abad XII-XIV), dan gaya Majapahit (abad XIII-XV).

Dahulu candi di Indonesia digunakan sebagai pemujaan terhadap nenek moyang (makam). Ada beberapa candi yang berfungsi sebagai stupa (candi Borobudur), sebagai wihara (candi Sari), sebagai istana (candi Boko), sebagai petirtaan / pemandian (taman sari) dan sebagai gapura (candi Bajang Ratu). Penggunaan candi sebagai tempat pemujaan dilakukan masyarakat (Jawa-bahkan hingga sekarang) karena dianggap roh nenek moyangnya akan pergi menuju ke Yang Kuasa. Mahameru (gunung) dianggap sebagai tempat yang tinggi makna simboliknya, yakni makna-makna sakral, lebih dekat dengan Yang Kuasa dan kekuasaan yang lebih tinggi. Oleh karena itu candi-candi di Indonesia banyak yang “bersandar” di gunung yakni didirikan di tempat dataran yang tinggi, lereng atau area sekitar gunung-gunung. Lokasi candi yang berada di gunung ini membuat lokasi candi biasanya berada di luar pusat-pusat kerajaan kuno di Indonesia.

http://img223.imageshack.us/img223/9845/klustersolocy2.jpg

Pendirian candi-candi yang ada di Indonesia mempunyai maksud, fungsi dan tujuan. Setiap candi biasanya memiliki relief yang merupakan cerita, tuntunan nilai-nilai yang tinggi dari pendirinya, dari cerita Ramayana, Mahabarata hingga relief-relief yang melukiskan kejayaan suatu kerajaan. Setiap candi mempunyai ciri dan keunikan tersendiri, salah satunya adalah candi Sukuh. Situs candi ini sangat unik, baik dilihat dari bentuk candi secara umum maupun dari relef-relief yang dipahat di dalamnya.  Menurut sejarah, Candi Sukuh dibangun pada sekitar abad ke-15 oleh masyarakat Hindu Tantrayana.. Candi ini dibangun pada masa akhir runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpaham Hindu. Pada waktu itu para pengikut setia Kerajaan Majapahit yang runtuh diserang Kerajaan Demak (berpaham Islam) melarikan diri ke lereng Gunung Lawu, kemudian membangun candi ini.
Situs candi Sukuh ditemukan kembali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, pada waktu itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Mulai saat itu banyak kalangan sarjana mengadakan penelitian Candi Sukuh antara lain Dr. Van der Vlis tahun 1842, Hoepermen diteruskan Verbeek tahun 1889, Knebel tahun 1910, dan sarjana Belanda Dr. WF. Stutterheim.




Profil Candi sukuh

Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggi-an kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di dukuh Berjo, desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta. Kurang lebih 4 kilometer mendaki gunung Lawu lagi, terdapat situs Candi Cetho.  Untuk menuju lokasi ini kita dapat mengikuti jalan luar propinsi yang menuju kearah objek wisata Tawang Mangu, bahkan jika terus naik kita dapat menjumpai objek wisata Waduk Sarangan yang berada di wilayah  Kabupaten Magetan Jawa Timur.  Di sekitar candi sukuh juga terdapat sebuah makam mantan Ibu Negara yakni makam Kalitan tempat disemayamkan Ibu Tien Soeharto. Jalan untuk mencapai lokasi candi Sukuh mempunyai medan yang cukup terjal karena berada di atas sebuah bukit. Namun sekarang jalan menuju ke candi sudah diaspal cukup nyaman meskipun harus hati-hati karena terkadang ada kabut tebal yang mengurangi pandangan depan dan membuat jalan aspal semakin licin.

Bangunan candi Sukuh memiliki ciri khas bentuk yang relatife sederhana dibandingkan dengan candi lain. Hiasan candi dan relief yang ada di candi Sukuh hanya sedikit dan tidak terlalu dekoratif . Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bahkan bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Bentuk candi ini yang berupa trapezium memang tak lazim seperti umumnya candi lain di Indonesia. Struktur ini juga mirip dengan bentuk piramida di Mesir. Candi ini juga tergolong kontroversial karena adanya objek-objek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.



Denah candi Sukuh



Kesan kesederhanaan bentuk candi ini menurut arkeolog Belanda W.F. Stutterheim (tahun 1930) ada tiga argumen: pertama, kemungkinan pemahat candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton, kedua candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi, atau ketiga bahwa keadaan politik pada waktu itu menjelang keruntuhan Kerajaan Majapahit karena didesak oleh pasukan Islam Demak, sehingga tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.

Gapura Pertama dengan bentuk arsitektur yang khas,
disusun agak miring berbentuk trapesium dengan atap di atasnya.



Berbagai relief tampak dilukiskan di beberapa sudut candi, beberapa ornamen sakral seperti Lingga-Yoni digambarkan secara realistis mirip sekali dengan genital pria dalam kehidupan kita sehari-hari. Beberapa kalangan menyebut candi ini disebut candi porno, padahal pada zaman dahulu mungkin kaum awam tidak mudah masuk kedalam candi ini karena kesakralannya yang tinggi.


Teras Pertama

Candi Sukuh dibangun dalam tiga susunan trap (teras), teras yang posisinya makin ke belakang terletak di dataran yang makin tinggi. Pada teras pertama terdapat pintu gerbang (gapura) utama. Bentuk gapuranya amat unik yakni dibuat miring seperti trapezium, layaknya pylon (gapura pintu masuk ke tempat suci) di Mesir. Pada sisi gapura sebelah utara terdapat relief “manusia ditelan raksasa” yakni sebuah “sengkalan rumit” yang bisa dibaca “Gapura buta mangan wong “ (gapura raksasa memakan manusia ). Gapura dengan karakter 9, buta karakternya 5, mangan karakternya 3, dan wong mempunyai karakter 1. Jadi candra sengkala tersebut dapat dibaca 1359 Saka atau tahun 1437 M, menandai selesainya pembangunan gapura pertama ini. Dilantai dasar dari gapura ini terdapat relief yang menggambarkan phallus (penis) berhadapan dengan vagina dengan di kelilingi oleh kalungan sperma. Sepintas relief ini mempunyai kesan porno, namun relief ini mengandung makna yang mendalam, lingga-yoni ini merupakan lambang kesuburan.

Lingga yoni berbentuk alat kelamin pria dan wanita
serta berkalung untaian sprema


Relief tersebut di pahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”. Relief tersebut berfungsi sebagai “suwuk” untuk “ngruwat”, yakni membersihkan segala kotoran yang melekat di hati setiap manusia. Dalam bukunya Candi Sukuh Dan Kidung Sudamala Ki Padmasuminto menerangkan bahwa relief tersebut merupakan sengkalan yang cukup rumit yaitu : “Wiwara Wiyasa Anahut Jalu “.Wiwara artinya gapura yang suci dengan karakter 9, Wiyasa diartikan daerah yang terkena “suwuk” dengan karakter 5, Anahut (mencaplok) dengan karakter 3, Jalu ( laki-laki ) berkarakter 1. Jadi bisa di temui angka tahun 1359 Saka.

Teras kedua

Gapura yang terletak di teras kedua kondisinya telah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak memiliki atap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Pada bagian tengah terdapat relief yang menggambarkan Ganesya dengan tangan yang memegang ekor. Relief ini terdapat sebuah candrasangkala pula yang dalam bahasa Jawa berbunyi “gajah wiku anahut buntut”, artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jika angka tahun ini benar menunjukkan pembangunan gapura ini, maka ada selisih hampir duapuluh tahun antara gapura di teras kedua ini dengan gapura di teras pertama.

Trap kedua ini lebih tinggi daripada trap pertama dengan pelataran yang lebih luas. Terdapat  jejeran tiga tembok dengan pahatan-pahatan relief yang menggambarkan peristiwa sosial yang menonjol di masyarakat sekitar pada saat pembangunan Candi Sukuh, relief ini disebut relief Pande Besi. Relief sebelah selatan menggambarkan seorang wanita terdiri di depan tungku pemanas besi, kedua tangannya memegang tangkai “ububan” ( peralatan mengisi udara pada pande besi). Pande besi adalah pengrajin yang membuat peralatan untuk menunjang kehidupan, seperti alat-alat pertanian, alat rumah tangga dan lain-lain.

Bangunan utama candi Sukuh, bentuknya seperti bentuk Pyramid

Teras ketiga

Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Apabila ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian, sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, memang dibuat untuk menguji keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.

Relief pada sebelah  utara menggambarkan seorang laki-laki sedang duduk dengan kaki selonjor. Di depannya tergolek senjata-senjata tajam seperti keris, tumbak dan pisau. Trap Ketiga ini trap tertinggi yang merupakan trap paling suci. Tepat di bagian tengah candi utama terdapat sebuah bujur sangkar yang merupakan tempat menaruh sesajian, untuk membakar kemenyan, dupa dan hio.
Dengan struktur bangunan seperti ini, candi Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk candi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan yang ditengah itulah tempat yang paling suci. Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata menyimpang dari aturan-aturan itu, hal tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh dibuat, era kejayaan Hindu sudah memudar, dan mengalami pasang surut, sehingga kebudayaan asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi yaitu kebudayaan prahistori jaman Megalithic, sehingga mau tak mau budaya-budaya asli bangsa Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada candhi Sukuh ini. Karena trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah bila ada banyak petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga dibagi dua oleh jalan setapa yang terbuat dari batu. Jalan batu di tengah pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada umumnya. Model jalan seperti itu hanya ada di “bangunan suci” prasejarah jaman Megalithic.

Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung Sudamala. Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala (suda artinya: bersih, mala berarti: dosa) sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang menda-pat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula, yakni seorang bidadari di kayangan dengan nama bethari Uma Sudamala. Sehingga cerita Sudamala ini kemudian disebutkan dalam sebuah buku / kidung, yakni Kidung Sudamala. Urutan relief dalam fragmen Sudamala adalah sebagai berikut:

Relief pertama
Relief pertama


Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima. Keduanya adalah putra Prabu Pandu dari istrinya yang kedua, Dewi Madrim. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu, yaitu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan. Relief ini menggambarkan ketika Dewi Kunthi meminta pada Sadewa agar mau “ngruwat” Bethari Durga namun Sadewa menolak.


Relief kedua.
Relief kedua


Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalanjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka dan Kalanjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar. Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor burung hantu. Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.

Relief  ketiga

Relief ketiga


Pada bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawan-nya, Semar berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas. Atas perintah Batari Durga yang telah dibebaskannya, Sadewa harus mengawini anak seorang pendeta buta. Pertapa buta itu pun disembuhkannya dari kebutaan.

Relief keempat

Relief keempat


Relief keempat menggambarkan Sadewa berhasil “ngruwat” Sang Durga. Sadewa kemudian diperintah pergi kepertapaan Prangalas, di situ Sadewa menikah dengan Dewi Pradapa. Adegan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama dengan Tambrapetra dan putrinya Dewi Padapa serta seorang punakawan di pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya.

Relief kelima

Relief kelima


Relief ini melukiskan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pancanakanya.
Beberapa bangunan di sekitar candi utama


Pada sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, yang didalamnya terdapat arca dengan ukuran yang kecil pula. Di lokasi ini terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian Tirta Amerta yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti yang menandai tahun saka 1363. Cerita ikwal Garudeya adalah sebagai berikut: Garuda mempunyai ibu bernama Winata yang menjadi budak salah seorang madunya yang bernama Dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena telah kalah bertaruh tentang warna ekor kuda uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam bertaruh sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berwujud ular naga yang berjumlah seribu yang menyemburkan bisa-bisanya di ekor kuda Uchaiswara sehingga warna ekor kuda berubah hitam. Dewi Winata dapat diruwat Sang Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para Dewa.

Altar berbentuk kura-kura


Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) di dekat candi kecil terdapat kura-kura yang cukup besar sejumlah tiga ekor sebagai lambang dari dunia bawah yakni dasar Gunung Mahameru, ini berkaitan dengan kisah suci agama Hindhu yakni “samudra samtana” yaitu ketika Dewa Wisnu menjelma menjadi kura-kura raksasa untuk membantu para dewa-dewa lain mencari air kehidupan (tirta perwita sari). Bentuk kura-kura ini menyerupai meja yang kemungkinan didesain sebagai tempat menaruh untuk sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari Tirta Amerta (kisah Pemutaran Laut Mencari Amerta).

Bangunan Dan Patung Lainnya

Salah satu prasasti di kompleks candi Sukuh


Di komplek candi induk terdapat sebuah prasasti yang menyiratkan bahwa candi Sukuh dalam candi untuk Pengruwatan, yakni prasasti yang diukir dipunggung relief sapi. Sapi tersebut digambarkan sedang menggigit ekornya sendiri dengan kandungan sengkalan rumit: “Goh wiku anahut buntut” maknanya tahun 1379 Saka. Sengkalan ini makna tahunnya persis sama dengan makna prasasti yang ada dipunggung sapi yang artinya  kurang lebih demikian: untuk diingat-ingat ketika bersujud di kahyangan (puncak gunung), terlebih dulu agar datang di pemandian suci. Saat itu adalah tahun saka Goh wiku anahut buntut 1379. Kata yang sama dengan ruwatan disini yaitu kata: “pawitra” yang artinya pemandian suci. Karena di kompleks Candi Sukuh tidak terdapat pemandian atau kolam pemandian maka pawitra dapat diartikan air suci untuk “ngruwat” seperti halnya kata “tirta sunya”. Tempat suci untuk pengruwatan, seperti yang sudah diutarakan, dengan bukti-bukti relief cerita Sudamala, Garudeya serta prasasti-prasasti, maka dapat dipastikan candi Sukuh pada jamannya adalah tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ritus) ruwatan.
Selain candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda serta relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria dan kaum bangsawan berwahana gajah untuk sarana transportasi. Bentuk bangunan lain adalah relief tapal kuda yang menggambarkan dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kira dan kanan yang berhadapan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa relief ini melambangkan rahim seorang wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut candi pewara. Di bagian tengah bangunan ini berlubang dan terdapat patung kecil tanpa kepala.


Keberadaan Candi Sukuh

Bentuk candi Sukuh secara umum lebar bagian bawah candi kemudian meruncing ke atas seperti gunung, meskipun secara spesifik bentuk candi Sukuh ini tergolong unik dibandingkan dengan candi-candi lain di Jawa (Tengah). Sesuai dengan kepercayaan masyarakat pada waktu itu bahwa gunung merupakan tempat yang memiliki unsur kekuatan dan kesakralan, maka candi ini dibangun di sebuah lereng gunung Lawu. Kondisi ini memberikan pandangan bahwa bangunan candi ini didirikan di luar pusat pemerintahan atau pusat kerajaan yang mendirikannya, karena biasanya pusat-pusat kekuasaan kerajaan jaman dulu berada di dataran yang rata dan tidak berbukit seperti Kraton Jogja, Solo, dan lainnya.

Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa sejarah berdirinya situs candi Sukuh ini pada awal abad 15. Menurut sejarah pula, candi Sukuh didirikan oleh para pelarian Kerajaan Majapahit yang kalah perang melawan Kerajaan Demak dalam proses penyebaran agama Islam di Jawa. Kerajaan Hindu Majapahit mengalami puncak kejayaannya pada tahun 1350–1389. Puncak kejayaan Majapa-hit ini dibawah pimpinan Raja Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada yang menguasai seluruh kepulauan Indonesia bahkan hingga Jazirah Malaka sesuai dengan “Sumpah Palapa” Gajah Mada yang ingin Nusantara bersatu. Kemudian Islam mulai masuk ke Jawa dengan membawa pengaruh dan perkembangan yang sangat pesat. Apabila sejarah ini benar, maka lokasi situs candi yang didirikan oleh pengikut Majapahit ini berada sangat jauh dari pusat kerajaan Majapahit. Pusat kerajaan Majapahit berada di Jawa Timur sedangkan lokasi candi Sukuh masuk ke wilayah Jawa Tengah (meskipun dalam wilayah perbatasan Jateng dan Jatim).

Lokasi candi Sukuh saat ini berada di dalam wilayah Karesidenan Surakarta. Sejarah berdirinya karesidenan Surakarta sendiri mempunyai rentang waktu yang cukup lama dengan berdirinya candi Sukuh. Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri sebagai suatu kerajaan pecahan dari Kesultanan Mataram (Islam) pada 13 Februari 1755, yaitu sebagai akibat dari ditandatanganinya Perjanjian Giyanti. Pemerintah Hindia Belanda dalam perjanjian tersebut juga mengakui Sunan Pakubuwana III sebagai raja yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri. Di awal masa kemerdekaan (1945-1946), bersama Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa Surakarta. Akan tetapi karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu, maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Karesidenan Surakarta, menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa candi Sukuh bukan produk dari Kasunanan Surakarta, karena usia candi Sukuh keberadaannya lebih dulu daripada Kasunanan Surakarta. Candi Sukuh juga bukan merupakan produk dari Kesultanan Mataram, karena Kesultanan Mataram menganut paham Islam yang mentabukan keberadaan candi. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa candi Sukuh kemungkinan bukan produk sebuah kerajaan tertentu sehingga tidak berada di sebuah pusat pemerintahan atau pusat kerajaan.

Keberadaan candi Sukuh yang berlokasi di tempat yang jauh dari pusat kerajaan serta relief yang dipahat kurang indah dibandingkan dengan candi-candi lain di Indonesia, menunjukkan bahwa candi ini dibuat oleh orang-orang yang kurang memahami atau memiliki kemampuan skill dan pengetahuan tentang pembuatan candi pada waktu itu. Bentuk candi yang sederhana dan terlihat lain dibandingkan dengan candi lain diperkirakan dipahat oleh orang yang tidak menguasai teknik pahat batu atau bahkan dipahat oleh tukang kayu atau tukang pande besi, karena disana juga ditemukan relief kegiatan pande yakni membuat peralatan atau kerajinan dari besi.

Lokasi candi yang berada di sebuah lereng gunung Lawu ini juga menunjukkan bahwa penentuan tempat ini seadanya tanpa memperhitungkan kondisi yang lebih strategis. Pemilihan lokasi candi yang jauh di lereng gunung tersebut “candi ndeso” kemungkinan merupakan tempat yang aman bagi para pelarian orang Majapahit yang kalah perang oleh pasukan Islam Demak. Pelarian yang kalah dalam suatu pertempuran tentunya mencari tempat persembunyian yang aman dan jauh dari pusat keramaian, maka dengan lokasi candi Sukuh yang pada waktu dulu mungkin tempatnya sangat sulit untuk dijangkau oleh lain.


Penutup

Candi Sukuh merupakan candi yang digunakan sebagai sarana peribadahan umat Hindu pada waktu itu. Meskipun adanya relief penis dan vagina yang terkesan porno, namun tentunya memiliki simbol dan makna tertentu karena candi ini digunakan sebagai tempat beribadah. Relief lingga yoni di gapura terdepan dan bagian atas candi induk di candi Sukuh juga merupakan lambang ucapan syukur masyarakat setempat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesuburan yang mereka peroleh. Sedangkan dilihat dari bentuk candi yang mirip dengan “punden berundak” tentulah candi ini merupakan tempat pemujaan roh-roh leluhur. Candi tersebut merupakan bangunan suci agama Syiwa, yang di Indonesia berbentuk lingga dan digambarkan secara realistis sebagai alat kelamin laki-laki. Kenyataan lainnya adalah adanya ruang pemujaan di candi utama yang digunakan untuk bersembahyang.

Keberadaan Candi Sukuh merupakan tempat peribadahan yang suci dan menjadi saksi atas ketaatan sebuah generasi dan keutuhan sebuah masa yang begitu mengagungkan nilai-nilai kebudayaan dan peribadahan. Pendirian peninggalan ini tentunya mempunyai makna dan maksud berupa ajaran hidup bagi umat dan masyarakatnya, tentunya hal ini merupakan salah satu nilai penting yang perlu kita gali dan kita terjemahkan dalam hidup kita sesuai dengan keyakinan kita. Kessederhanaan candi Sukuh adalah salah satu wujud karya nenek moyang yang tiada ternilai harganya, maka picik bagi kita sebagai generasi pewaris bila tak ada niatan untuk tidak turut berbagi dalam upaya pelestarian nilai-nilai dan kandungan yang tersimpan didalamnya.

Candi Sukuh pada jamannya juga merupakan tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ruwatan). Bukti-bukti bahwa Candi Sukuh merupakan tempat untuk upacara pengruwatan yakni: (a) Relief Lingga-yoni di gapura pertama selain berfungsi sebagai “suwuk” juga berfungsi untuk “ngruwat” siapa saja yang memasuki candi. (b) Relief Sudamala yang menceritakan Sadewa “ngruwat” Sang Durga. (c) Relief Garideya yang menggambarkan Garuda “ngruwat” ibunya yang bernama Dewi Winata. (d) Prasasti tahun 1379 Saka dipunggung sapi yakni kata “pawitra” yang berarti air suci (air pengruwatan).

Candi Dieng

Berkas:Dieng temple complex.jpg
 Komplek Candi Dieng


PENDAHULUAN

Candi Dieng merupakan sebuah kompleks candi yang bersifat agama Siwa, terletak di tanah datar tinggi Dieng (Dihyang) , dengan ketinggian  sekitar 2000 meter di atas permukaan laut,  berukuran 1800 meter panjang dan 800 meter lebar. Di sebelah utara terletak gunung Prahu dan dari arah gunung ini mengalir sungai Tulis ke arah selatan, masuk ke dataran tinggi Dieng dan dahulunya membentuk semacam danau dikenal dengan nama Bale Kambang.  Agar air tidak terlalu penuh  terdapat saluran berupa pipa yang disebut saluran Aswatama.  Menurut laporan, pipa air ini sebagian ditemukan di dekat candi Arjuna.

Candi-candi di kompleks Dieng sekarang berjumlah sekitar delapan buah candi  kemungkinan berasal dari abad VIII-IX.  Sebuah prasasti ditemukan di dalam kompleks memiliki angka tahun 713 Saka sama dengan 809 Masehi, namun terdapat kemungkinan candi-candi tersebut ada yang lebih tua, dari sekitar pertengahan abad VIII. Candi-candi di Dieng ini diberi nama wayang, yaitu candi Arjuna, candi Semar, Srikandi, Puntadewa, Sembadra, Bima, Dwarawati, Gatotkaca.  Melihat nama-namanya jelas bukan nama tokoh Mahabharata, melainkan tokoh wayang termasuk punakawan Semar. Hal ini berarti nama-nama tersebut bukan nama asli candi-candi  Dieng.

Kompleks Dieng ini diperkirakan candi Saiwa tertua dari masa Klasik Tua,  namun sebelum membicarakan candi tersebut, akan disinggung sepintas lalu tentang  kontak budaya awal Indonesia-India yang berdampak masuknya agama-agama yang berasal dari India ke Indonesia.


PERKEMBANGAN AWAL AGAMA-AGAMA DI NUSANTARA

Hubungan dagang antara India dan Asia Tenggara termasuk Indonesia (Nusantara) telah lama terjadi. Hubungan dagang ini bersamaan waktunya dengan perkembangan agama Buddha yang mewajibkan para pendetanya (bhiksu-bhiksunya) untuk menyebarkan agama tersebut.  Salah satu usaha meraka adalah ikut kapal dagang India, dan dengan penuh ketekunan menyebarkan agamanya.  Kehadiran para bhiksu di kapal-kapal ini antara lain dibuktikan oleh penemuan arca-arca Buddha di tempat-tempat yang dekat dengan jalur perdagangan, , misalnya arca Buddha di Bukit Seguntang, Palembang,  di Sempaga di pantai barat Sulawesi, di Kota Bangun (Kutai).  Arca-arca tersebut berasal dari abad II-III Masehi.

Berbeda dengan para bhiksu agama Buddha, pendeta-pendeta non-Buddha tidak ikut kapal dagang menyebarkan agama mereka, namun mereka khusus diundang oleh para raja di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Nusantara).
Pendeta-pendeta yang pertama diundang ke Indonesia bukan pendeta dari agama Hindu-Siwa, melainkan dari agama Veda (Brahmana) yang berkembang di India antara tahun 1500 sebelum Masehi, hingga sekitar abad I Masehi.

Agama Veda dibawa masuk ke India oleh bangsa Arya antara tahun 2000-1500 sebelum Masehi, dan kepercayaannya dapat kita ketahui dari kitab Veda yang berjumlah empat yaitu Rgveda, Yajur Veda, Sama Veda dan Atharva Veda.  Dewa-dewinya berjumlah 33, dan merupakan wujud atau personifikasi kekuatan alam sehingga bentuk kepercayaannya disebut “naturalistic polytheism”,  tetapi ada yang menyebut “kat henotheism”  (kat:berganti-ganti, heno:satu) maksudnya dewa yang dianggap tertinggi berganti-ganti sesuai kepentingan si pemuja.  Ritual masa Veda adalah bersaji (offerings) yang dilakukan tidak di dalam kuil, tetapi di sebuah lapangan terbuka yang disebut Vedi atau Ksetra. Di atas lapangan didirikan tungku yang disebut agni atau kunda, minimal berjumlah empat untuk membakar benda-benda yang disajikan kepada dewa. Pusat berkembangnya agama Veda di India adalah di sekitar sungai Sindhu (Indus), India Barat.  Agama Veda ini digantikan oleh agama Hindu yang memuja tiga dewa (Trimurti: Siva, Visnu, Brahma) pada sekitar abad I Masehi, kitab suci mereka tetap Veda ditambah oleh kitab-kitab Purana dan Upa Purana.  Berbeda dengan agama Veda, pusat perkembangan agama Hindu di sekitar sungai Gangga dan Yamuna, India Timur.  Agama Hindu yang mempunyai ajaran sva-dharma (kewajiban sesuai dengan jati/kasta).

Dalam perkembangannya, muncul kelompok-kelompok pemuja Siwa sebagai dewa tertinggi atau Visnu sebagai dewa tertinggi dalam agama Vaisnava, kemudian pada abad VI muncul agama Sakta pemuja sakti atau energi dewa, khususnya dewa Siwa.

Di Nusantara agama Veda menjadi agama awal yang berasal dari India, bukti tertua terdapat di Kutai, MuarakamanTarumanagara dan Kota Kapur di pulau Bangka.   Baru pada abad VII Masehi agama Hindu pemuja Trimurti berkembang di Jawa Tengah, bukti pertama diketahui pada prasasti Tuk Mas, di Dakawu, Magelang.  Selanjutnya menurut prasasti Canggal tahun 732 Masehi yang dikeluarkan oleh raja Sanjaya, agama Siwa mulai berkembang di pulau Jawa.  Candi-candi Saiwa bermunculan di Jawa, di antaranya candi-candi di Dieng.


LOKASI DAN NAMA CANDI

Candi-candi Dieng dan beberapa candi lainnya di Jawa, yang tertua setelah Dieng adalah candi Gedong Songo di Ungaran,  candi Gunung Wukir,  dan lain sebagainya didirikan di lereng sebuah gunung/bukit.   Kalau pun di dirikan di dataran rendah, maka tanah halaman  ditinggikan, sebagai contoh dapat dilihat pada halaman candi Prambanan.  Candi Prambanan mempunyai tiga halaman, halaman pertama merupakan halaman pusat, kemudian halaman kedua dan halaman ketiga.  Permukaan tanah halaman I (pusat) lebih tinggi dari permukaan tanah halaman II dan III. 
Keletakan bangunan suci  di lereng gunung, di puncak sebuah bukit  dan di pinggir sungai atau danau telah dibicarakan di dalam buku Vastusastra, yaitu buku pedoman bagi para seniman (silpin) untuk membuat suatu bangunan (vastu). Menurut Vastusastra, untuk membuat tempat para dewa sebaiknya di gunung, dengan air yang mengalir.   Namun apabila dilihat dari sudut arti simbolik, gunung adalah mikrokosmos, tiruan dari Mahameru tempat tinggal para dewa, Siwa dan Keluarganya tinggal di puncak gunung Kailasa di Mahameru tersebut.

Mengapa bangunan suci di Jawa disebut candi
?
Berbagai pendapat muncul tentang arti nama itu, namun disini dapat saya katakan bahwa penamaan tempat suci umumnya dan bangunan suci pada khususnya sebagai candi, hanya terdapat di Indonesia. Di India sesuai dengan sebutan dalam Vastusastra, bangunan suci tidak disebut candi, melainkan Prasada, Vesman,  Koil,   Devagrha, Devalaya, Devakula, Mandiram, Bhavanam, Sthana dan lain sebagainya.

Berkas:Candi Gatotkaca.jpg
Candi Gatotkaca


CANDI DIENG, KRONOLOGI DAN DESKRIPSI

Pembicaraan tentang candi-candi di Dieng telah dibicarakan oleh N.J.Krom di dalam bukunya yang berjudul Inleiding tot de Hindoe-Javaansche Kunst (1923) , 3 jilid, E.B.Vogler dalam De Monsterkop in de Hindoe-Javaansche Bouwkunst (1949),  yang membicarakan kronologi candi-candi Jawa Tengah berdasarkan ragam hias Kala-makaranya, kemudian Soetjipto Wirjosuparto membahas candi Dieng dalam karangannya berjudul Sedjarah Bangunan Kuna Dieng (1957) .
Menurut Soetjipto Wirjosuparto,Kompleks Dieng ini pertama kali dikunjungi tahun 1814 oleh H.C.Cornelius, dan menurut laporannya, dataran Dieng masih berupa danau dan di antara candi-candinya ada yang terendam air.  Baru tahun 1856 J.van Kinsbergen membuat gambar candi-candi Dieng ini, air dialirkan sehingga dataran menjadi kering.
E.B.Vogler membagi secara kronologis candi-candi di wilayah Jawa Tengah, berdasarkan ciri-ciri ragam hias Kala-makara.   Ia membuat pembabakan candi-candi sebagai berikut:
  1. Seni bangunan Jawa Tengah Kuna, namun telah hilang karena terbuat daribenda-benda yang mudah rusak
  2. Seni bangunan masa Sanjaya (pertengahan abad VII-pertengahan abad VIII),Walaupun tidak ada bekas2nya , Vogler menentukan bahwa bangunan masa Sanjaya ini berakarkan seni bangunan Pallwa India Selatan.  Seni bangunan inijuga disebut bangunan Dieng Kuna.
  3. Seni bangunan Sailendra (pertengahan abad VIII-pertengahan abad IX), merupakan perpaduan unsur kesenian Dieng Kuna dan India Utara.  Seni bangunan Sailendra dapat dibagi menjadi dua aliran, yaitu:
    • Seni bangunan Dieng Baru, yang tetap meneruskan seni bangunan Dieng Kuna. Contoh adalah bangunan2 di Dieng
    • Seni bangunan Sailendra-Jawa yang berakarkan seni bangunan India Utara, contoh adalah candi2 di daerah Kedu Selatan dan sekitar Prambanan, yaitu candi Kalasan, Sari, Lumbung, Sewu, Borobudur, Mendut, Pawon
  4. Seni bangunan Kesatuan, (pertengan abad IX-kira-kira tahun 927).  Disebut “kesatuan”karena Sanjayawamsa telah bersatu dengan Sailendrawamsa melalui perkawinan.  Terdapat percampuran dengan gaya seni bangunan Jawa Timur dan gaya seni bangunan dari luar Jawa (?). Termasuk kelompok ini adalah candi Puntadewa di Dieng, candi2 Gedongsanga, Plaosan, Sojiwan dan Lara Jonggrang.
  5. Seni bangunan Jawa Tengah akhir ((500-928), seni bangunan yang meniru candi Candi Sembadra, candi Srikandi, candi Gunung Wukir.
Pembabakan candi-candi oleh Vogler ini, kemudian diikuti oleh Soetjipto Wirjosuparto dalam pengelompokan candi-candi Dieng, dalam bukunya tersebut di atas.
Seperti telah dikemukakan terdahulu, candi-candi di Dieng sekarang ada delapan buah, walaupun terdapat kemungkinan dahulunya jumlah candi lebih dari delapan. Empat buah candi berjejer di sebelah utara, yaitu candi Arjuna, candi Srikandi, cabdi Puntadewa dan candi Sembodro, yang menghadap ke arah barat.  Berhadapan dengan candi Arjuna terdapat candi Semar, yang berfungsi sebagai candi Perwara, menghadap ke timur.  Sementara itu ada pendapat bahwa candi Perwara pun terdapat di depan candi-candi Srikandi, Puntadewa dan Sembodro, namun sekarang sudah tidak tersisa. Kelima candi ini merupakan satu kelompok, karena terdapat sisa-sisa pagar yang mengelilingi.

Lima Buah Candi Di Dieng

Di samping itu, di sebelah barat daya Bale Kambang, di kaki bukit Panggonan terdapat candi Gatotkaca,  candi Dwarawati di sebelah utara dekat bukit Prahu, dan di ujung selatan terdapat candi Bima.
Secara sepintas, candi-candi tersebut mirip dengan kuil-kuil di India, namun kalau kita perhatikan, sangat besar perbedaannya.  Ciri-ciri umum candi-candi di Dieng, berdenah bujur sangkar, mempunyai tiga bagian candi, yaitu kaki-tubuh-atap. Perkecualian terdapat pada candi Semar, karena berdenah empat persegi panjang, dan atap tidak menjulang seperti candi-candi lainnya, melainkan berbentuk padma (sisi genta).  Demikian pula di antara candi-candi tersebut, candi Bima mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan ketujuh candi lainnya, untuk lebih jelasnya akan di deskripsikan tiga buah candi yaitu candi Arjuna,  candi Semar dan candi Bima.


Candi Arjuna 
Candi Arjuna dimasukkan ke dalam seni bangunan Dieng Baru, berdenah bujur sangkar berukuran 6 meter x 6 meter, dengan pintu menghadap ke barat. Candi didirikan di atas fondasi berupa tanah lembut semacam pasir keputihan.  Fondasi disini maksudnya pemadatan tanah di bawah candi, untuk memperkuat tanah sebelum didirikan candi.Seperti lazimnya candi-candi Klasik Tua, kaki candi dihias dengan perbingkaian, demikian pula bagian bawah tubuh candi.  Namun candi Arjuna dan candi-candi Dieng lainnya tidak memiliki bingkai bulat (kumuda), hanya bingkai rata dan bingkai padma (sisi genta).  Dinding tubuh candi Arjuna dihias oleh 3 relung pada 3 sisinya yang sekarang telah kosong tidak ada arcanya.  Bagian atas relung masing-masing relung dihias dengan ragam hias kepala kala tanpa dagu, dan dihubungkan dengan sepasang makara oleh bingkai relung.  Pintu candi di sebelah barat, dengan hiasan ragam hias kepala kala pula, dan dihubungkan oleh bingkai pintu dan pipi tangga ke sepasang makara yang di hias oleh burung kakaktua di mulutnya yang menganga.
Atap candi terdiri dari tiga lapis (bhumi), ukurannya makin ke atas makin kecil dan di akhiri oleh puncak yang mungkin berbentuk buah keben (ratna).  Kemungkinan ini di ajukan setelah melihat hiasan pada sudut2 lapisan atap berbentuk replika candi.  Kepastian bentuk tidak dapat diajukan, karena atap telah rusak.  Puncak candi bukan stupika (dagoba), karena candi Arjuna dan candi Dieng secara keseluruhan bersifat agama Siwa, dan bukan bersifat agama Buddha. Bentuk atap candi Arjuna mirip dengan atap candi gaya India Selatan (gaya Dravida).

Pada tahun 1924 seorang arkeolog Belanda pernah meneliti candi Arjuna, dan menurut pendapatnya, ukuran dan bagian-bagian candi Arjuna jelas mengikuti aturan Vastusastra.  Namun bagaimana gaya candi-candi Dieng lainnya belum ada laporan, kecuali candi Bima yang beratap gaya India Utara (gaya Arya).
Ragam hias sangat sederhana, atap candi dipenuhi dengan ragam hias antefiks (simbar), dan hiasan Kala-makara pada pintu candi dan ketiga relung pada badan candi.  Bingkai pintu ini pada bagian bawah dihubungkan dengan pipi tangga yang melengkung pada kiri kanan tangga masuk.
Ruangan tengah (garbhagrha) telah kosong, dahulunya mungkin diisi arca Siwa yang mungkin sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta.  Yoni lapik arcanya sekarang masih ada di dalam ruangan.

Berkas:Complex of Candi Arjuna.jpg
Komplek Candi Arjuna



Candi Semar
 Di hadapan candi Arjuna berdiri sebuah candi yang berdenah empat persegi panjang berukuran 7x3.50 meter, dengan pintu menghadap ke timur. Seperti candi-candi lainnya, candi Semar memiliki kaki-tubuh dan atap.  Alas kaki candi dan alas tubuh candi dihias dengan perbingkaian berupa bingkai padma (sisi genta) dan bingkai rata. Pintu dihias dengan kala-makara, tubuh candi diberi bidang penghias yang kosong.  Atap candi bentuknya sangat unik, karena tidak berlapis seperti halnya candi Arjuna dan candi-candi lainnya, namun hanya satu lapis melengkung ke atas, bentuknya seperti padma yang besar. Puncak atap berbentu apa, sudah tidak diketahui karena telah hilang.

Candi Semar ini berfungsi sebagai candi Perwara, atau candi pengiring.  Apa yang diletakkan di ruangan candi tidak jelas.  Apabila kita bandingkan dengan kompleks kuil di India, bangunan yang berhadapan dengan bangunan utama, biasanya dipakai untuk menempatkan arca Nandi, vahana (kendaraan) Siwa.
Candi Perwara semacam candi Semar, selain di Dieng juga ditemukan pada candi-candi kuna tua masa Klasik tua,  misalnya pada candi Gedongsanga.

Salah Satu Kelompok Candi Gedong Songo

Pada candi-candi yang tergolong tua candi Perwara hanya satu.  Namun pada candi-candi yang lebih muda jumlah candi Perwara akan bertambah, misalnya yang terdapat pada candi Sambisari ini, jumlah candi Perwara menjadi tiga buah.
gambar3_candisambisari
Candi Sambisari

Dari sisa2 candi Dieng, menurut J. Dumarcay,  dahulu candi Perwara, mungkin mirip candi Semar, juga terdapat di depan candi-candi Sembadra, Puntadewa dan candi Srikandi.


Candi Bima 
Di sebelah selatan dataran Dieng, dekat bukit Panggonan terletak candi Bima.
gambar4_candibima
Candi Bima

Candi menghadap ke timur, denah hampir bujur sangkar dengan ukuran 4..43 x 4.93 meter, dengan bangunan penampil di pintu masuk.  Seperti candi-candi di Dieng lainnya, candi Bima mempunyai tiga bagian candi, Namun perbedaan yang menyolok, atap candi Bima mengikuti gaya atap India Utara (gaya Arya), lapisan-lapisan atap tidak terlihat, dan atap dihias dengan amalaka (semacam bola pipih), pada bagian atas menara sudutnya, mungkin pula puncak candi.  Di samping hiasan amalaka, atap candi Bima di hias dengan sederetan relung palsu dengan arca-arca kepala tokoh yang seolah-olah melihat dari jendela.  Relung-relung ini di India disebut ragam hias kudu atau gavaksa.
Candi Bima

 

Candi Bima mempunyai ciri-ciri arsitektural yang sangat berbeda dengan candi-candi di Dieng lainnya.  Candi Bima terpengaruh oleh ciri-ciri kuil India Utara, sedangkan candi yang 6 (tidak termasuk candi Semar) mengikuti  gaya India Selatan.  Namun kalau diamati dengan seksama, candi-candi Dieng memperlihatkan variasi ciri-ciri dalam hal struktur candi maupun ragam hiasnya.  Hal ini berarti candi-candi dibuat oleh beberapa orang silpin yang bertindak sebagai kepala arsitek candi (sthapati). Kemungkinan besar para sthapati ini pernah belajar agama di India. Dari  bukti2 tertulis diketahui bahwa orang-orang Indonesia pernah ada yang belajar agama di India.  Mereka dibuatkan asrama di Nalanda (Bengal) dan di Nagapatnam (India Selatan) untuk tinggal selama disana.

Agama, baik agama Hindu maupun Buddha, sangat erat hubungannya dengan kesenian khususnya seni bangunan, dan seni arca.  Di India terdapat beberapa pusat kesenian, misalnya di Mathura, India Utara,  Nalanda pusat agama Buddha di daerah Bengal, Amarawati India Selatan dan sebagainya.  Para sthapati tersebut selain belajar agama, juga mempelajari kitab-kitab Vastu (Vastusastra), kemudian pergi mengunjungi pusat-pusat kesenian di India.  Kemudian mereka membuat replika bangunan suci sesuai dengan apa yang diuraikan dalam Vastusastra, dengan apa yang dilihat di pusat2 kesenian dan sudah tentu disesuaikan dengan dasar budayanya sebagai orang Jawa, maka dibuatlah replika candi untuk dibawa pulang dijadikan contoh membuat candi-candi di Jawa dan mungkin pula di tempat lain di Nusantara.  Apabila mereka (para silpin yang kemudian menjadi sthapati) pulang hanya membawa replika contoh candi, maka dengan sendirinya bisa dimengerti mengapa hingga saat ini kita tidak pernah menemukan Vastusastra di Indonesia.


PENUTUP

Candi-candi tua yang ditemukan di Jawa kebanyakan bersifat agama Siwa, antara lain candi Dieng, Gedongsanga, Gunungwukir, Pringapus dan lain sebagainya.
Telah dikemukakan terdahulu, candi-candi tersebut secara sepintas memang mirip dengan kuil2 India, namun kalau diperhatikan betul akan sangat berbeda, baik dari segi arsitektural maupun penempatan arca-arcanya.  Ada yang berpendapat candi Bima sangat mirip dengan kuil Bhitargaon yang ada di Cawnpore, Utar Pradesh.  Namun persamaan hanya sebatas pada ragam hias motif kudu yang juga terdapat pada dinding kuil Bhitargaon. Ciri-ciri lain tidak bisa dibandingkan karena sangat berbeda,bukankah candi Bima yang membuat adalah seniman Indonesia? Walaupun para seniman Nusantara tersebut mengenal peraturan dalam Vastusastra dan telah mengunjungi pusat-pusat kesenian di India, namun semua pengetahuan tersebut diramu, diolah, dengan unsur budaya setempat.

Jagadkejawen,
Prof.DR. Hariani Santika
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...